Malam ini aku kembali menangis. Menumpahkan semua
beban yang akhir-akhir ini terus membelenggu perasaan. Bukan yang pertama
memang, namun hari ini benar-benar saat terberat. Kamu bilang, perbedaan bukan
halangan menyatukan aku dan kamu menjadi kita. Aku terus berusaha mengerti dan
lebih mengenal karaktermu. Tidak ada yang berubah.
Sejak pertama hingga detik inipun, kamu masih sama. Laki-laki
yang membuatku jatuh cinta, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Meski kadang
karenamu airmata mengalir dari kedua pelupuk mataku. Aku ingin terus jatuh
cinta padamu, meski takdir mungkin tidak akan pernah menyatukan kita untuk
selamanya.
Malam ini, mungkin akan menjadi saat terakhir kita. Karena
setelah ini, kita akan kembali menjadi aku dan kamu. Dua sosok yang pernah
saling mencintai lalu bersama namun, kemudian terpisah. Apa aku akan menyesali
keadaan ini?
Dari wechat
aku mengenalmu. Menjadi sosok yang perlahan mengagumi kedewasaan dan misteriusmu.
Apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat itu? Aku seperti menemukan sebuah
baterai untuk ponselku yang telah lama mati. Mungkin terlalu berlebihan, namun
itu adalah nyata.
Kehadiranmu memberi satu semangat baru, meski saat
itu aku tidak pernah yakin apa kamu akan terus peduli padaku. Karena hampir
semua temanku di wechat dalam jangka
waktu tertentu akan menghilang.
Namun, saat itu kamu berbeda. Kamu terus menjadi
teman dalam bosanku, kepenatanku. Hingga semuanya berlanjut ke line. Dari situlah kita semakin dekat. Banyak
hal kita ceritakan, kita saling berbagi.
Tapi, apa yang aku takutkan terjadi. Kamu
menghilang, tidak lagi peduli padaku. Padahal saat itu ada tunas cinta tumbuh,
yang seharusnya kamu pupuk agar terus berkembang dan mekar menjadi cinta yang
kuat. Aku menunggumu, terus menunggu. Hingga
hadir sosok lain memaksa masuk ke dalam kehidupanku. Bukan aku tidak ingin
terus menunggumu, namun aku bosan dengan sikapmu yang benar-benar melupakanku. Dan
sosok itu datang memapahku, meski akhirnya luka dia torehkan di hatiku.
Luka itu masih basah ketika kamu kembali datang. Menawarkan
harapan yang dulu aku inginkan. Hingga tiba saat dimana malam itu kita bertemu.
Untuk pertama kalinya. Malam itu, mendekati pukul sebelas malam, kamu datang.
Di awal musim dingin, November tahun lalu. Angin
yang berhembus semilir, tidak dingin juga tidak terasa panas. Di dalam mobilmu,
aku dan kamu saling bercerita tentang rasa. Rasa yang ternyata sama-sama tumbuh
di antara taman hati kita. Rindu yang menggebu ketika waktu seakan memisahkan
kita.
Hingga janji untuk menyatukan kedua hati terucap. Malam
itu aku dan kamu resmi menjadi kita. 5 november 2014 kita bersama. Kita memang
aneh. Malam itu pertama kita bertemu, meski kita sudah lama saling mengenal. Namun
cinta itu kuat hingga bisa menyatukan kita.
Waktu terus berjalan, banyak cerita yang kita cipta.
Semakin lama aku semakin mengenalmu. Satu hal yang kadang membuatku ingin terus
tersenyum mengingatmu, mengapa wajah kita bisa sama-sama bulat. Mungkin inilah
takdir itu.
Hidup itu memang terus berputar. Begitu juga dengan
kebersamaan kita. Tidak hanya bahagia namun juga luka dan lara tidak luput dari
kisah kita. Aku yang begitu trauma dengan masa lalu, menjadikanku sosok yang
overprotektif, dan aku sadari itu yang membuatmu tidak nyaman.
Dan pada akhirnya, kamu menjauh. Kamu hanya bilang
jika aku tidak mengertimu. Tentang apa? Yang mana? Bagaimana aku mengertimu,
jika kamu memilih diam. Apa kamu lupa aku bertanya dan belajar mengertimu,
namun kamu acuh.
Agama kita, kewarganegaraan kita, status sosial
kita. Apakah itu yang membuatku tidak mengertimu, tidak memahamimu? Apakah
perbedaan-perbedaan itu yang membuatmu kini menyerah? Bukankah kamu pernah
bilang, semua itu tidak akan berpengaruh dengan cinta kita. Mengapa kini kamu
berubah. Apakah cinta kita sudah tidak sanggup menepis semua masalah itu.
Aku terus berusaha mempertahankan apa yang telah
kita bangun. Namun apa arti semua itu, jika kamu tidak berjuang juga untuk
kita. Apa semua perjuangan itu akan bermakna jika kamu memilih diam.
Jika pergi dari hidupku, sekarang menjadi pilihanmu
maka pergilah. Biarkan aku di sini dengan luka yang akan aku balut dengan cinta
yang masih utuh dan kian besar untukmu. Karena aku yakin, besarnya cintaku akan
membuat luka itu segera mengering.
Percayalah, aku akan baik-baik saja meski kamu
melukis luka di hatiku. Yakinlah, cintaku tidak akan pernah berubah, tidak akan pernah. Aku rela jika kamu benar-benar
pergi. Aku harap kepergianmu bisa membuatmu lebih bahagia. Kelak, jika kamu berubah
pikiran. Jika kamu ingin kembali. Kembalilah, aku tetap sama, tetap di sini
menantimu. Mencintaimu di sisa umurku. Karena hanya itu yang bisa membuatku
bahagia, melupa atas luka-luka. (104.08.23)
0 comments:
Post a Comment