Thursday, 27 August 2015 0 comments

Sepotong Kisah Kita

Malam ini aku kembali menangis. Menumpahkan semua beban yang akhir-akhir ini terus membelenggu perasaan. Bukan yang pertama memang, namun hari ini benar-benar saat terberat. Kamu bilang, perbedaan bukan halangan menyatukan aku dan kamu menjadi kita. Aku terus berusaha mengerti dan lebih mengenal karaktermu. Tidak ada yang berubah.

Sejak pertama hingga detik inipun, kamu masih sama. Laki-laki yang membuatku jatuh cinta, tidak hanya sekali namun berkali-kali. Meski kadang karenamu airmata mengalir dari kedua pelupuk mataku. Aku ingin terus jatuh cinta padamu, meski takdir mungkin tidak akan pernah menyatukan kita untuk selamanya.

Malam ini, mungkin akan menjadi saat terakhir kita. Karena setelah ini, kita akan kembali menjadi aku dan kamu. Dua sosok yang pernah saling mencintai lalu bersama namun, kemudian terpisah. Apa aku akan menyesali keadaan ini?

Dari wechat aku mengenalmu. Menjadi sosok yang perlahan mengagumi kedewasaan dan misteriusmu. Apa kamu tahu apa yang aku rasakan saat itu? Aku seperti menemukan sebuah baterai untuk ponselku yang telah lama mati. Mungkin terlalu berlebihan, namun itu adalah nyata.

Kehadiranmu memberi satu semangat baru, meski saat itu aku tidak pernah yakin apa kamu akan terus peduli padaku. Karena hampir semua temanku di wechat dalam jangka waktu tertentu akan menghilang.

Namun, saat itu kamu berbeda. Kamu terus menjadi teman dalam bosanku, kepenatanku. Hingga semuanya berlanjut ke line. Dari situlah kita semakin dekat. Banyak hal kita ceritakan, kita saling berbagi.

Tapi, apa yang aku takutkan terjadi. Kamu menghilang, tidak lagi peduli padaku. Padahal saat itu ada tunas cinta tumbuh, yang seharusnya kamu pupuk agar terus berkembang dan mekar menjadi cinta yang kuat.  Aku menunggumu, terus menunggu. Hingga hadir sosok lain memaksa masuk ke dalam kehidupanku. Bukan aku tidak ingin terus menunggumu, namun aku bosan dengan sikapmu yang benar-benar melupakanku. Dan sosok itu datang memapahku, meski akhirnya luka dia torehkan di hatiku.

Luka itu masih basah ketika kamu kembali datang. Menawarkan harapan yang dulu aku inginkan. Hingga tiba saat dimana malam itu kita bertemu. Untuk pertama kalinya. Malam itu, mendekati pukul sebelas malam, kamu datang.

Di awal musim dingin, November tahun lalu. Angin yang berhembus semilir, tidak dingin juga tidak terasa panas. Di dalam mobilmu, aku dan kamu saling bercerita tentang rasa. Rasa yang ternyata sama-sama tumbuh di antara taman hati kita. Rindu yang menggebu ketika waktu seakan memisahkan kita.

Hingga janji untuk menyatukan kedua hati terucap. Malam itu aku dan kamu resmi menjadi kita. 5 november 2014 kita bersama. Kita memang aneh. Malam itu pertama kita bertemu, meski kita sudah lama saling mengenal. Namun cinta itu kuat hingga bisa menyatukan kita.

Waktu terus berjalan, banyak cerita yang kita cipta. Semakin lama aku semakin mengenalmu. Satu hal yang kadang membuatku ingin terus tersenyum mengingatmu, mengapa wajah kita bisa sama-sama bulat. Mungkin inilah takdir itu.

Hidup itu memang terus berputar. Begitu juga dengan kebersamaan kita. Tidak hanya bahagia namun juga luka dan lara tidak luput dari kisah kita. Aku yang begitu trauma dengan masa lalu, menjadikanku sosok yang overprotektif, dan aku sadari itu yang membuatmu tidak nyaman.

Dan pada akhirnya, kamu menjauh. Kamu hanya bilang jika aku tidak mengertimu. Tentang apa? Yang mana? Bagaimana aku mengertimu, jika kamu memilih diam. Apa kamu lupa aku bertanya dan belajar mengertimu, namun kamu acuh.

Agama kita, kewarganegaraan kita, status sosial kita. Apakah itu yang membuatku tidak mengertimu, tidak memahamimu? Apakah perbedaan-perbedaan itu yang membuatmu kini menyerah? Bukankah kamu pernah bilang, semua itu tidak akan berpengaruh dengan cinta kita. Mengapa kini kamu berubah. Apakah cinta kita sudah tidak sanggup menepis semua masalah itu.

Aku terus berusaha mempertahankan apa yang telah kita bangun. Namun apa arti semua itu, jika kamu tidak berjuang juga untuk kita. Apa semua perjuangan itu akan bermakna jika kamu memilih diam.

Jika pergi dari hidupku, sekarang menjadi pilihanmu maka pergilah. Biarkan aku di sini dengan luka yang akan aku balut dengan cinta yang masih utuh dan kian besar untukmu. Karena aku yakin, besarnya cintaku akan membuat luka itu segera mengering.


Percayalah, aku akan baik-baik saja meski kamu melukis luka di hatiku. Yakinlah, cintaku tidak akan pernah berubah, tidak  akan pernah. Aku rela jika kamu benar-benar pergi. Aku harap kepergianmu bisa membuatmu lebih bahagia. Kelak, jika kamu berubah pikiran. Jika kamu ingin kembali. Kembalilah, aku tetap sama, tetap di sini menantimu. Mencintaimu di sisa umurku. Karena hanya itu yang bisa membuatku bahagia, melupa atas luka-luka. (104.08.23)


Jumlah Pengunjung Blog

 
;